.

Senin, 21 Oktober 2013


PANDANGAN KALAM
MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
 Pada Mata Kuliah “Ilmu Kalam”

Disusun oleh:
FITRI ARISTIANI, 210213011
FAIZ WIDIATI, 210213106
MOH. ILHAM NADZIRUL FIQRI, 210213267
RIZKIA LUTFI, 210213221

Jurusan Syari’ah Mu’amalah
Semester I



Dosen pengampu:
SAID ABADI, MA.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013


I.         Pendahuluan
          Muhammad Abduh adalah salah satu dari sekian tokoh pembaharu islam. Muh. Abduh hadir membawa pemikiran diberbagai bidang agama, sosial, dan politik. Ia juga seorang guru yang dihormati murid-muridnya. Banyak pemikiran yang ia cetuskan dan meninggalkan pengaruh tidak hanya di tanah kelahirannya mesir dan daerah timur tengah. Akan tetapi pengaruhnya menyebar keberbagai pelosok dunia islam. Pemikiran-pemikiran Muh. Abduh yang tidak terlalu memihak menimbulkan banyak perdebatan diantaranya masalah corak teologi yang dianutnya. Teologi yang bercorak rasionalkah atau teologi yang bercorak tradisional, teologi yang mengandung dinamikakah atau teologi yang mendorong kepada keadaan statis?. Diantara karya Muhammad Abduh adalah Risalah al-Tauhid.
          Sebagai seorang guru Muhammad Abduh memiliki banyak murid, diantaranya adalah Rasyid Ridha juga termasuk tokoh pemikir islam. Pemikiran-pemikirannya banyak di pengaruhi oleh Muhammad Abduh akan tetapi dalam beberapa hal Rasyid Ridha memiliki perbedaan dengan gurunya itu. Misalnya saja cara mereka mengenai sifat-sifat Tuhan. Salah satu karyanya yakni Tafsir al-Manar.
          Sebagai tokoh-tokoh yang memiliki nama besar di dunia islam, tentu banyak hal yang dapat diteladani dari Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha. Maka dari itu dalam makalah ini akan di uraikan sedikit tentang riwayat hidup dan juga pemikiran-pemikirannya.


II.      Riwayat Muhammad Abduh
          Muhammad Abduh dilahirkan di desa Mahallat Distrik provinsi al-Bahirah tahun 1849 M (1266 H), dari sauatu keluarga miskin yang menanggung berbagai kesulitan. Kesulitan masa kecil itu diceritakan Abduh:
          “Pernah ada seorang pemfitnah melaporkan keluargaku kepada penguasa dengan menuduhnya sebagai pemberontak. Akibatnya, satu persatu keluargaku diciduk dan dijebloskan ke penjara. Biasanya, siapa yang masuk penjara, keluar dipastikan menjadi mayat. Di rumah, tinggal kakekku Hasan yang sudah renta bersama Ibrahim - keponakannya...”
          Pada umur 7 tahun, Abduh menerima pengajaran peratama, di desanya berupa pelajaran membaca, menulis dan menghapal Qur’an. Setelah itu, Abduh pergi ke masjid al-Ahmadiy di Tanta untuk mengikuti pelajaran Tajwid pada umur 13 tahun.
          Dua tahun kemudian, tahun 1864 Abduh menerima awal pelajaran al-Azhar di masjid al-Ahmadiy setelah sempurna pelajaran tajwid sebelumnya. Karena metode pengajarannya tidak tepat, Abduh tidak bisa menerima pelajaran dan memutuskan meninggalkan pelajaran setelah setahun mengikutinya. Maka pada tahun 1865, Abduh pulang ke kampungnya lalu menikah dan berniat untuk bertani bersama keluarganya dan tidak ingin berurusan dengan pelajaran lagi. Namun sang bapak melarangnya dan bersikeras mengembalikannya ke masjid al-Ahmadiy pada tahun yang sama.
III.   Pemikirian-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
1.    Kedudukan akal dan fungsi wahyu
          Akal menurut Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahwa akal adalah satu keistemewaan yang di berikan Allah swt kepada manusia. Akal dalam teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi, bahkan menurut Harun Nasution Abduh menempatkan akal lebih tinggi dari Mu’tazilah. berkat akal orang dapat mengetahui adanya Tuhan beserta sifat dan kekuasaan. Islam memandang mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar islam dan iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
          Bagi Abduh, islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang di dasarkan atas akal. Bahkan akal adalah salah satu dasar dalam Islam.
Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
a.    Tuhan dan sifat-sifatnya
b.    Keberadaan hidup di akhirat
c.    Kebahagian jiwa di akhirat tergantung pada upaya mengenal Tuhan dan bebuat baik, sedangkan kesengsaraanya tergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
d.   Kewajiban manusia mengenal Tuhan
e.    Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
f.     Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban perbuatan itu.
          Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan  kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sfatnya dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
          Dalam pendapat Abduh, wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Keyakinan akan adanya hidup ke dua sesudah hidup pertama ini, bukanlah hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat manusia dalam keseluruhan, monoteis, penyembahan berhala, orang beragama dan filosof, kecuali sebagian kecil yang tak berarti, sepakat mengatakan bahwa jiwa akan tetap hidup setelah ia meninggalkan tubuh.
          Fungsi ke dua dari wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia meski hidup berkelompok, tidak selalu dalam satu pandangan. Akibatnya, terjadi selisih pendapat yang mengakibatkan perpecahan. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik maka nabi-nabi di kirim Tuhan ke permukaan bumi.
2.    Kebebasan Manusia
          Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya dia bukan manusia lagi. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang di lakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri. Selanjutnya mewujudkan perbuatannya tu dengan daya yang ada dalam dirinya. Karena manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan itu. Paham perbuatan yang di paksakan atas manusia atau yang lebih di kenal dengan paham Jabariyah, tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh.
         Menurut uraian di atas manusia memiliki kebebasan memilih dalam perbuatan, timbul pertanyaan sejauh manakah kebebasan manusia itu?
Sebenarnya kebebasan manusia tidaklah absolut. Manusia memiliki kebebasan yang terbatas pada apa yang ia usahakan, akan tetapi hasil akhir tetap di tentukan Allah SWT.
3.    Sifat-sifat Tuhan
          Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak, sifat dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri disamping esensi. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengetakan tidak. Masalah ini juga disinggung oleh Muhammad Abduh.
          Dalam risalah ia menyebutkan sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan ataukah esensi lain dari Tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya.
4.    Kehendak mutlak Tuhan
          Melihat manusia yang bebas berkehendak, Abduh berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak selamanya bersifat mutlak. Karena Tuhan telah membatasi kemutlakan-Nya dengan memberi kesempatan pada manusia untuk berijtihad. Namun pada penjelasan lain dikatakan dalam kebebasan itu, Tuhan tetap berperan di belakangnya.
5.    Keadilan Tuhan
          Bagi Abduh Tuhan menciptakan alam ini bukan semata-mata karena kemutlakan-Nya. Namun ada tujuan lain bagi manusia dan seluruh makhluk. jika ditinjau lebih dalam, peranan makhluk satu dengan makhluk lainya saling berinteraksi dalam menjalankan kehidupan di alam ini (selain beribadah pada Tuhan). Inilah salah satu wujud keadilan Tuhan. Setiap perbuatan manusiapun dipengaruhi oleh sifat-sifat keadilan Tuhan. Semua perbuatan manusia akan di balas sesuai kebaikan dan keburukannya.
6.    Antropomorfisme
          Dalam hal ini Abduh berpendapat Tuhan tidak dapat diwujudkan dalam bentuk apapun sebagaimana yang terekam dalam pikiran manusia. Jika dalam al-Qur’an terdapat kata-kata “ tangan, wajah Tuhan “ dan lain-lain. Itu hanya sebagai permisalan untuk mempermudah memahami Al-Qur’an, bahkan jika manusia memikirkan Tuhan itu maha besar, bisa jadi Tuhan lebih maha besar dari apa yang dipikirkan manusia. Dalam penafsiran seperti diatas, Abduh menyarankan untuk menyandarkan pada orang Arab (ahli tafsir).
7.    Wujud Tuhan
          Bagi Abduh Tuhan tidak akan menampakkan wujud-Nya kepada makhluk. Jika Tuhan menampakkan wujudnya di akhirat, itu hanya di anugerahkan pada hamba tertentu dan belum tentu hamba itu bisa melihat wujud Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat al-An’am ayat 103.
8.    Perbuatan Tuhan
          Semua perbuatan Tuhan tidak wajib dilakukan oleh zat-Nya. Mencipta, memberi rizqi, mengadzab dan lain-lain adalah ketetapan bagi-Nya, tidak dapat dibayangkan tujuan dan maksud perbuatan-Nya. Namun dalam pendapat Abduh yang lain ia cenderung sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa Tuhan wajib berlaku baik pada manusia dan makhluk-Nya.
IV.   Riwayat Rasyid Ridha
          Ridha atau lengkapnya sayyid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada hari rabu tangal 27 Jumadil al-Ula 1282 H atau 18 okteber 1865 M di Qolamun, sebuah desa yang terletak di tepi pantai laut tengah, sekitar 3 mil jauhnya sebelah selatan Tripoli, Lebanon.
          Ayah dan ibu Ridha berasal dari keturunan al-Husain, putra dari Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah putri Rosullullah saw itu sebabnya, Ridha menyandang gelar al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh ahli al-Bait seperti Ali bin Abi Tholib, al-Husain dan Jafar as-Shadiq dengan jaduna (nenek moyang kami). Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia 7 tahun ridha di masukan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional yang disebut Kuttab yang ada di desanya.
          Setelah menamatkan pelajarannya di Kuttab Ridha tidak langsung melanjutkan pelajaranya ke lembaga yang lebih tinggi tetapi hanya melanjutkannya pada orang tuanya dan ulama’ setempat. Beberapa tahun kemudian setelah, Ridha meneruskan pelajarannya di madrasah ibtidaiyah al-Rusdiyah di Tripoli. Di madrasah itu di ajarkan ilmu nahwu, shorof, tauhid, fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Namun, bahasa pengantar yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa arab, melainkan bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan, karena madrasah tersebut milik pemerintah Turki Usmani. Disamping itu, tujuan madrasah milik pemerintah tersbut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Usmani.
          Oleh karena itu, Ridha enggan manjadi pemerintah, Ridha kemudian keluar dari madrsah al-Rusydyiah setelah lebih kurang satu tahun belajar disana. Selanjutnya, 1299 atau 1300 H Ridha memasuki madrasah Watoniah Islamiyah yang didirikan dan dipimpin oleh syekh Husain al-Jisr (w. 1327 H/ 1909 M), seorang ulam’ besar Lebanon yang telah dipengaruhi oleh ide pembaruaan yang digulirakan oleh as-sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan syekh Muhammad Abduh.
          Setelah madrasah Watoniah ditutup, Ridha melanjutkan pelajaranya di madrasah diniyah (sekolah agama) yang lain. Disamping itu, meski madrasah Watoniah ditutup, Ridha tetap belajar pada syekh al-Jisr, baik di madrasah Rahibyyah maupun di rumah gurunya itu sendiri sampai selesai damn memperoleh ijazah dari gurunya pada tahun 1315 H/ 1897 M.
     Selama belajar di Tripoli, Ridha tidak hanya berhasil menimba ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga mendapat kesempatan menulis di beberapa harian dan majalah yang terbit di Tripoli dengan bimbingan dari gurunya, syekh al-Jisr. Pengalamannya di bidang tulis-menulis itulah yang mengantarkannya menjadi seorang penulis yang produktif dan pemimpin redaksi majalah al-Manar hingga akhir hayatnya.


V.      Pemikirian-Pemikiran Kalam Rasyid Ridha
1.    Akal dan Wahyu
          Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.
2.    Sifat Tuhan
          Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazila. dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.
3.    Perbuatan Manusia
          Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination). Perbuatan manusia menurut Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan. 
4.    Konsep Iman
          Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan umat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.

                



Selasa, 15 Oktober 2013

MAKALAH PUASA



PUASA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Setudi Fikih
Dosen Pembimbing : Drs. M.Muhsin





SETAIN PONOROGO
Di susun oleh:
Andre Wibowo (210213288)
MUAMALAH
TAHUN PELAJARAN
2013/2014




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Puasa”. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah STUDI FIQIH.
            Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada bapak Drs. M. Muhsin selaku dosen pengampu serta teman-teman semua.
            Penyusun menyadari keterbatasan  sebagai manusia. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penyusun berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan makalah ini. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



Ponorogo, 13 Oktober 2013


                                                                                                                                       Penulis









BAB I
A.    PENDAHULUAN
Setiap umat Islan memiliki kewajiban dan larangan, dan Shiyam atau Puasa adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan umat Islam diseluruh penjuru dunia namun ada juga Puasa yang sifatnya sunnah, bahkan ada juga hari dimana diharamkan untuk berpuasa.
Syiam atau Puasa melambangkan kontrol diri karena puasa bermakna menahan diri dari makan, minum, dan menahan hawa nafsu dari terbitnya matahari sampai Maghrib.  Puasa juga mengandung hikmah selain melakukan kewajinan kita juga mendapat jesehatan jasmani, merasa selalu diamati oleh Allah SWT.
Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar.
Banyak orang-orang yang melakasanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya,pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala.






 BAB II
Pembahasan

1.    Pengertian Shiyam atau Puasa
Shiyam atau Puasa menurut arti bahasa bermakna: “menahan diri dai sesuatu dan meninggalkan sesuatu”. Menurut arti istilah syara’ yang dimaksud shiyam adalah: “menahan diri dari makan,minum dan bersenang – senang dengan istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharap ridla Allah SWT dan menyiapkan diri untuk bertakwa kepada-Nya,dengan jalan memperhatikan Allah SWT dan dengan mendidik bermacam kehendak”. Sedang dari ulama lain membatasi shiyam dengan batasan/ta’rif:”menahan diri dari makan minum dan bersenang” dengan istri serta lainnya sepanjang hari menurut cara yang di isyaratkan. Disetai pula dengan menahan diri dari perkataan yangsia-sia, perkataan yang merangsang, perkataan yang diharamkan,dimakruhkan menurut syarat yang telah ditetapkan dan waktu yang telah ditentukan.[1]
Dalam Al-qur’an juga telah diterangkan salah satunya dalam surat Al-baqarah ayat 183:
2:183
 “Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)







2.        Rukun  Puasa
Þ  Niat
Niat adalah keinginan dalam hati untuk berpuasa karena ingin menjalankan perintah Allah SWT dan mendekat kepada-Nya. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT:
98:5          
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS: Al-Bayyinah Ayat: 5)
Menrut pendapat ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, serta jumhur ulama adalah wajib hukumnya berniat pada setiap malam[2]

Þ  Meninggalakan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga
terbenam matahari[3] Batas awal waktu menahan diri adalalah setelah fajar, berdasarkan dalil sbb: Rasulullah saw  bersabda: “makan dan minumlah sampai Ibnu Umu Maktum menyeru. Sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar.” (­HR Bukhari dan Ibnu Majah).
3.      Syarat wajib puasa
   1)    Islam
 Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak sah
   2)    Berakal
 Orang gila tidak wajib berpuasa
   3)    Baligh
 Orang yang sudah berusia 15 tahun (qamariah) atau telah ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau keluar darah haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya sembilan tahun (qamariah). Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.
   4)    Mampu berpuasa
Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat membawa madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak diwajibkan berpuasa baginya.
   5)      Orang yang mukim atau menetap.
Pengesahan ini didasarkan juga pada Ayat 184 Al-baqarah yang menyatakan bahwa orang yang sedang musafir diperkenankan untuk tidak berpuasa.[4]
   6)      Orang yang tidak sedang Masturbasi atau bernifas
Orang yang tidak sedang Masturbasi atau bernifas tidak sah mengerjakan puasa[5]
­­­­­­
4.      Puasa Fardhu
a.       Puasa Ramadlan
Ramadlan jamaknya ramadhan atau armidha, maknanya sangat terik atau yang panas karena terik matahari.[6] Ibadah puasa Ramadlan merupakan satu diantara lima rukun Islam yang diwajibkan Allah SWT pada tahun kedua hijriah. Dalam sejarahnya ibadah puasa ini bukan suatu ketentuan baru yang ditemukan dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tapi ibadah ini sudah diwajibkan pula pada zaman Nabi-nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw, seperti Nabi Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayub, Ibrahim, Yusuf, Musa, dan isa as.[7]
Cara menawali atau mengakhiri bulan Puasa:[8]
©      Dengan melihat bulan (ru’yatul hilal) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil dimuka Bumi
©      Dengan mencukupkan bulan sya’ban 30 hari, maksudnya bulan tanggal sya’ban itu dilahat. Tetapi kalau bulan pada tanggal 1 Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan, maka haus disempurnakan menjadi 30 hari.
©      Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak sehingga mustahil mereka akan sepakat berdusta atau sekata atas kabar yang dusta.
©      Dengan Ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang)
Mengenai penetapan awal Ramadlan dan awal Syawal/Idul Fitri dikalangan fuqaha terdapat dua aliran, yaitu pertama aliran yang berpegang pada matla’ ( tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Aliran ini ditikihi oleh imam syafi’i dan kedua aliran yang tidak berpegang pada matla’ ( jumhur fuqaha ) untuk mewujudkan ukhuah islamiah, komisi fatwa MUI mengambil kesimpulan agar dalam penetapan awal ramadlan dan awal syawal/Idul fitri berpeoman pada pendapat jumhur, sehingga rakyat wang terjadi di swatu Negara Islam dapat diberlakukan secara internasional (belaku bagi Negar-negara islam yang lain). Hal ini memerlukan kesempatan untuk membentuk lembaga yang berstatus sebagai “Qadi internasional’ yang dipatuhi dipatuhi oleh seluruh negara negara Islam. Sebelum itu, berlakulah ketetapan memerintah masing-masing.[9]  
Adapun tujuan diwajubkan nya umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadlan adalah agar terbentuk sosok manusia yang berkualitas taqwa, yaitu manusia yang dengan tulus ihlas memasrahkan seluruh hidupnya di atas kemauan Allah semata-mata.
b.      Puasa kifarat
Puasa kifarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan [10]
c.     Puasa Nazar
Puasa nazar adalah orang yang bernazar puasa karena mengiginkan sesuatu, maka ia wajib puasa setelah yang diinginkannya itu tercapai, dan apabila puasa nazar itu tidak dilaksanakannya maka ia berdosa dan ia dikenakan denda / kifarat .
Misalnya bernazar untuk lulus keperguruan tinggi, maka ia wajib melaksanakan puasa nazar tersebut apabila ia berhasil.[11]

5.      Puasa sunnah
v  Puasa Syawal
puasa syawal ialah puasa yang setelah tanggal 1 syawal sebanyak 6 hari. Puasa ini dapat dilakukan secara berturut – turut atau dapat juga dilakukan tidak secara berturut – turut [12]
v  Puasa Senin-Kamis
Puasa senin kamis dituntunkan Rasululloh saw untuk dijadikan amalan sunnah oleh umatnya. Aisyah berkata, “ Rasulullah saw selalu berupaya berpuasa pada hari sanin dan   
v  Puasa Spuluh Hari Pertama Dibulan Dzulhijjah
Puasa pada spuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra bahwa Rasululah saw bersapda, “ tudak ada amal yang dalakukan pada hari-hari lain yang lebih baik daripada sepuluh hari ini.” Para sahabat bertanya “tidak pula jihad?” beliau menjawab “tidak pula jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak  pulang dengan membawa apapun.” [13]
v  Puasa Arafah
Puasa Arafah ialah puasa sunah yang di tuntunkan Rasulullah untuk dapat ditunaikan setiap mislim yang tidak sedang melakukan ibadah Haji[14].  Yaitu pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaan: “akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang” (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan jalan bertaubat.
v  Puasa Asyura
Hari Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharrom. Nabi saw memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura ini dan mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Puasa Asyura ini memeng sudah dijadikan amalan oleh umat sebelum umat Rasulullah saw. Dan dalam hadist-hadist lain diterangkan bahwa Puasa Asyura adalah puasa yang biasa dilakukan oleh bani Isail( Bangsa Yahudi) sebagai rasa syukur kepada Allahkarena atas pertolongan-Nya Nabi Musa dan bani Israil selamat dari ancaman musuh (Fir’aun)[15] 
v  Puasa Sya’ban
Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban untuk mengikuti perbuatan rasulullah saw, dimana beliau selalu berpuasa dalam bulan tersebut kecuali beberapa hari saja beliau berbuka. Sementara dalam riwayat Muslim dikataka, “Aku tidak pernah melihat Nabi saw berpuasa dalam satu bulan melebihi banyaknya puasa yang beliau lakukan pada bulan sya’ban. Kadang beliau berpuasa pada bulan sya’ban sebulan penuh dan kadang hanya beberapa hari saja beliau berbuka pada bulan itu.”[16]
v  Puasa Putih ( Shiyamul-bidl)
Puasa Putih ( Shiyamul-bidl) ialah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qomariah. Dan karena puasa sunnah ini dilaksanakan pada tanggal-tanggal terang bulan, oleh kana iti ia sering disebut juga puasa putih atau peasa terang.[17]
v  Puasa Daud
Puasa Daud ialah puasa yang dahulu pernah dilakukan oleh Nabi Daud as, yang dilaksanakan sehari puasa dan sehari berbuka. Halini dituntunkan Rasulullah bagi siapapun yang dapat melakukannya.[18]

6.        Puasa Yang Diharamkan
Ø  Berpuasa Pada Dua Hari Raya
Nabi saw melarang umat islam puasa pada dua hari raya, baik idul fitri ( 1 Syawal ) maupun idul adha ( 10 Dzulhijjah ). hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oeh imam bukhori dan muslim, disebutkan bahwa: “sesumgguhnya nabi muhammad saw melarang berpuasa di dua hari, hari raya idul fitri dan idul adha”.
Ø  Berpuasa Pada  Hari Tasyrik
yaitu tiga hari pada tanggal 11,12,13 dzul hijjah. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oeh imam muslim, dari nubaisyah al-hudzaili ra, ia berkata bahwa nabi muhammad saw bersabda: “hari taysrik itu adalah hari makan, minum dan menyebutkan nama Allah swt[19]
Ø  Puaswa Dahr (Puasa Sepanjang Masa)
Puasa dahr adalah puasa sepanjang tahun/puasa sepanjang masa. Puasa ini dilarang oleh syara' karena diantaranya bersamaan waktunya dengan hari-hari yang diharamkan berpuasa, seperti hari raya idul fitri, idul adha, serta hari tasyrik[20]
Ø  Puasa Seorang Istri Yang Suaminya Tidak Mengizinkannya
Seorang istri yang melakukan puasa sunnah tanpa seizin suami, dan memang suami tidak mengizinkannya maka puasa tersebut dianggap tidak sah, dan hukumnya haram.[21]


Ø  Puasa hari jum’ah
Hari jum’ah adalah hari raya bagi kaum muslimin, dan oleh karena itu Rosulullah saw melarang seseorang yang melaksanakan puasa khusus hari jum’ah saja.[22]

7.      Sesuatu Yang Membatalkan Puasa
Hal yabg membatalkan puasa diantaranya:[23]
·         Makan dan minum sebelum Magrib tiba
·         Merokok dan menghisap harumnya bau Makanan dengan sengaja
·          Muntah yang telah mengeluarkan benda-benda yang telah masuk kedalam perut
·         Melakukan hubungan suami istri sejak dimulainya Puasa sampai sebelum Magrib
·         Haid ketika sedang berpuasa, sampai suci kembali perempuan dilarang Puasa, demikian pula perempuan yang sedang nifas



BAB III
Penutup
1.      Kesimpulan
Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya seperti makan, minum, serta hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan berdasarkan niat,  mematuhi syarat dan rukunnya selain itu dapat mengetahui puasa ada yang wajib dan ada yang sunnah. Puasa yang wajib jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan akan berdosa. Sedangkan puasa sunnah jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Jadi apabila kita mengerjakan kedua perintah puasa tersebut akan mendapat pahala namun ada pula hari yang diharamkan untuk berpuasa. Banyak hal yang dapat membatalkan puasa diantaranya hawa Nafsu, makan dan minum dengan disengaja dll. Oleh karena itu Allah SWT menyarankan orang berpuasa untuk mematuhi syarat-syarat wajib puasa dan rukun puasa.



[1] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003).  133
[2] Ayub Hassan muhammad, Puasadan I’tikaf Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). 29
[3]  Labib Mz, Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah,( Surabaya: Putra Jaya, 2007). 8
[4] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003). 143
[5] Ibid, 144
[6] Efri El-Bakar - Uup Gufron, Tuntunan Puasa Ramadhan, ( Cibubur: PT. Variapap Groub, 2009). 21
[7] Ibid, 134
[8] Asy’ari, pendidikan agama islam 5, ( semarang: aneka ilmu 2007), 88
[9] Ma’ruf Amin, et all, Himpunan Fatwa MUI ( jakarta: Erlangga, 2011), 138
[12] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003). 162 - 163
[13] Habibi Alif, Risalah puasa,( jombang: darul hikmah, 2009). 10 – 11
[14] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003). 164
[15] Ibid. 165
[16] Habibi Alif, Risalah puasa,( jombang: darul hikmah, 2009). 13
[17] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003). 166
[18] Ibid. 167
[19] Labib Mz, Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah,( Surabaya: Putra Jaya, 2007). 19-20
[20] Ayub Hassan muhammad, Puasadan I’tikaf Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). 39
[21] Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed, Fikih Islam, ( Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2003). 169
[22] Ibid. 169
[23] Abdul Hamid dan Ahmad Saebani, Fiqih Ibadah, ( Bandung: CV pustaka setia, 2009).  245