PANDANGAN KALAM
MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA
Makalah
ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah “Ilmu Kalam”
Disusun oleh:
FITRI ARISTIANI, 210213011
FAIZ WIDIATI, 210213106
MOH. ILHAM NADZIRUL FIQRI,
210213267
RIZKIA LUTFI,
210213221
Jurusan Syari’ah Mu’amalah
Semester I
Dosen pengampu:
SAID ABADI, MA.
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013
I.
Pendahuluan
Muhammad Abduh adalah salah satu dari sekian tokoh
pembaharu islam. Muh. Abduh hadir membawa pemikiran diberbagai bidang agama,
sosial, dan politik. Ia juga seorang guru yang dihormati murid-muridnya. Banyak
pemikiran yang ia cetuskan dan meninggalkan pengaruh tidak hanya di tanah
kelahirannya mesir dan daerah timur tengah. Akan tetapi pengaruhnya menyebar
keberbagai pelosok dunia islam. Pemikiran-pemikiran Muh. Abduh yang tidak
terlalu memihak menimbulkan banyak perdebatan diantaranya masalah corak teologi
yang dianutnya. Teologi yang bercorak rasionalkah atau teologi yang bercorak
tradisional, teologi yang mengandung dinamikakah atau teologi yang mendorong
kepada keadaan statis?. Diantara karya Muhammad Abduh adalah Risalah al-Tauhid.
Sebagai seorang guru Muhammad Abduh memiliki banyak murid,
diantaranya adalah Rasyid Ridha juga termasuk tokoh pemikir islam.
Pemikiran-pemikirannya banyak di pengaruhi oleh Muhammad Abduh akan tetapi
dalam beberapa hal Rasyid Ridha memiliki perbedaan dengan gurunya itu. Misalnya
saja cara mereka mengenai sifat-sifat Tuhan. Salah satu karyanya yakni Tafsir
al-Manar.
Sebagai tokoh-tokoh yang memiliki nama besar di dunia
islam, tentu banyak hal yang dapat diteladani dari Muhammad Abduh maupun Rasyid
Ridha. Maka dari itu dalam makalah ini akan di uraikan sedikit tentang riwayat
hidup dan juga pemikiran-pemikirannya.
II. Riwayat Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan di desa
Mahallat Distrik provinsi al-Bahirah tahun 1849 M (1266 H), dari sauatu
keluarga miskin yang menanggung berbagai kesulitan. Kesulitan masa kecil itu
diceritakan Abduh:
“Pernah ada seorang pemfitnah
melaporkan keluargaku kepada penguasa dengan menuduhnya sebagai pemberontak.
Akibatnya, satu persatu keluargaku diciduk dan dijebloskan ke penjara.
Biasanya, siapa yang masuk penjara, keluar dipastikan menjadi mayat. Di rumah,
tinggal kakekku Hasan yang sudah renta bersama Ibrahim - keponakannya...”
Pada umur 7 tahun, Abduh menerima
pengajaran peratama, di desanya berupa pelajaran membaca, menulis dan menghapal
Qur’an. Setelah itu, Abduh pergi ke masjid al-Ahmadiy di Tanta untuk mengikuti
pelajaran Tajwid pada umur 13 tahun.
Dua tahun kemudian, tahun 1864 Abduh
menerima awal pelajaran al-Azhar di masjid al-Ahmadiy setelah sempurna
pelajaran tajwid sebelumnya. Karena metode pengajarannya tidak tepat, Abduh
tidak bisa menerima pelajaran dan memutuskan meninggalkan pelajaran setelah
setahun mengikutinya. Maka pada tahun 1865, Abduh pulang ke kampungnya lalu
menikah dan berniat untuk bertani bersama keluarganya dan tidak ingin berurusan
dengan pelajaran lagi. Namun sang bapak melarangnya dan bersikeras
mengembalikannya ke masjid al-Ahmadiy pada tahun yang sama.
III. Pemikirian-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
1. Kedudukan
akal dan fungsi wahyu
Akal menurut Muhammad Abduh adalah
suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahwa akal adalah satu keistemewaan yang di berikan Allah swt kepada manusia.
Akal dalam teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi, bahkan
menurut Harun Nasution Abduh menempatkan akal lebih tinggi dari Mu’tazilah.
berkat akal orang dapat mengetahui adanya Tuhan beserta sifat dan kekuasaan.
Islam memandang mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar islam dan
iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Bagi Abduh, islam adalah agama yang
rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang di dasarkan atas
akal. Bahkan akal
adalah salah satu dasar dalam Islam.
Menurut
Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
a. Tuhan
dan sifat-sifatnya
b. Keberadaan
hidup di akhirat
c. Kebahagian
jiwa di akhirat tergantung pada upaya mengenal Tuhan dan bebuat baik, sedangkan
kesengsaraanya tergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan
perbuatan jahat
d. Kewajiban
manusia mengenal Tuhan
e. Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat
f. Hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban perbuatan itu.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad
Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu
baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan
untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk
mengetahui sifat dan keadaan kehidupan
alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum
yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sfatnya
dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan. Dengan
demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan
dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Dalam pendapat Abduh, wahyu mempunyai
dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia
akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Keyakinan akan adanya hidup ke dua
sesudah hidup pertama ini, bukanlah hasil dari pemikiran yang sesat dari akal
dan bukan pula suatu khayalan, karena umat manusia dalam keseluruhan, monoteis,
penyembahan berhala, orang beragama dan filosof, kecuali sebagian kecil yang
tak berarti, sepakat mengatakan bahwa jiwa akan tetap hidup setelah ia
meninggalkan tubuh.
Fungsi ke dua dari wahyu mempunyai
kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia meski hidup berkelompok, tidak selalu dalam satu pandangan. Akibatnya,
terjadi selisih pendapat yang mengakibatkan perpecahan. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan
baik maka nabi-nabi di kirim Tuhan ke permukaan bumi.
2. Kebebasan
Manusia
Bagi
Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan
memilih, yang merupakan alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar
ini dihilangkan dari dirinya dia bukan manusia lagi. Manusia dengan akalnya
mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang di lakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri. Selanjutnya mewujudkan perbuatannya tu
dengan daya yang ada dalam dirinya. Karena manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam
kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan itu. Paham perbuatan yang di paksakan
atas manusia atau yang lebih di kenal dengan paham Jabariyah, tidak sejalan
dengan pandangan hidup Muhammad Abduh.
Menurut uraian di atas manusia memiliki
kebebasan memilih dalam perbuatan, timbul pertanyaan sejauh manakah kebebasan
manusia itu?
Sebenarnya kebebasan manusia
tidaklah absolut. Manusia memiliki kebebasan yang terbatas pada apa yang ia
usahakan, akan tetapi hasil akhir tetap di tentukan Allah SWT.
3. Sifat-sifat
Tuhan
Dalam teologi islam terdapat
pertentangan mengenai masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak, sifat
dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri disamping esensi. Sebagian
aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengetakan tidak. Masalah ini juga
disinggung oleh Muhammad Abduh.
Dalam risalah ia menyebutkan sifat-sifat
Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan ataukah esensi
lain dari Tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia
untuk mengetahuinya.
4.
Kehendak mutlak Tuhan
Melihat manusia yang bebas berkehendak, Abduh berpendapat bahwa
kehendak Tuhan tidak selamanya bersifat mutlak. Karena Tuhan telah membatasi
kemutlakan-Nya dengan memberi kesempatan pada manusia untuk berijtihad. Namun
pada penjelasan lain dikatakan dalam kebebasan itu, Tuhan tetap berperan di
belakangnya.
5.
Keadilan Tuhan
Bagi Abduh Tuhan menciptakan alam ini bukan semata-mata karena
kemutlakan-Nya. Namun ada tujuan lain bagi manusia dan seluruh makhluk. jika
ditinjau lebih dalam, peranan makhluk satu dengan makhluk lainya saling
berinteraksi dalam menjalankan kehidupan di alam ini (selain beribadah pada
Tuhan). Inilah salah satu wujud keadilan Tuhan. Setiap perbuatan manusiapun
dipengaruhi oleh sifat-sifat keadilan Tuhan. Semua perbuatan manusia akan di
balas sesuai kebaikan dan keburukannya.
6.
Antropomorfisme
Dalam hal ini Abduh berpendapat Tuhan tidak dapat diwujudkan dalam
bentuk apapun sebagaimana yang terekam dalam pikiran manusia. Jika dalam al-Qur’an
terdapat kata-kata “ tangan, wajah Tuhan “ dan lain-lain. Itu hanya sebagai
permisalan untuk mempermudah memahami Al-Qur’an, bahkan jika manusia memikirkan
Tuhan itu maha besar, bisa jadi Tuhan lebih maha besar dari apa yang dipikirkan
manusia. Dalam penafsiran seperti diatas, Abduh menyarankan untuk menyandarkan
pada orang Arab (ahli tafsir).
7.
Wujud Tuhan
Bagi Abduh Tuhan tidak akan menampakkan wujud-Nya kepada makhluk.
Jika Tuhan menampakkan wujudnya di akhirat, itu hanya di anugerahkan pada hamba
tertentu dan belum tentu hamba itu bisa melihat wujud Tuhan yang sebenarnya.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat al-An’am ayat 103.
8.
Perbuatan Tuhan
Semua perbuatan Tuhan tidak wajib dilakukan oleh zat-Nya. Mencipta,
memberi rizqi, mengadzab dan lain-lain adalah ketetapan bagi-Nya, tidak dapat
dibayangkan tujuan dan maksud perbuatan-Nya. Namun dalam pendapat Abduh yang
lain ia cenderung sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa Tuhan wajib berlaku baik
pada manusia dan makhluk-Nya.
IV. Riwayat Rasyid Ridha
Ridha atau lengkapnya sayyid Muhammad
Rasyid Ridha lahir pada hari rabu tangal 27 Jumadil al-Ula 1282 H atau 18
okteber 1865 M di Qolamun, sebuah desa yang terletak di tepi pantai laut
tengah, sekitar 3 mil jauhnya sebelah selatan Tripoli, Lebanon.
Ayah dan ibu Ridha berasal dari
keturunan al-Husain, putra dari Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah putri Rosullullah
saw itu sebabnya, Ridha menyandang gelar al-sayyid di depan namanya dan sering
menyebut tokoh-tokoh ahli al-Bait seperti Ali bin Abi Tholib, al-Husain dan Jafar
as-Shadiq dengan jaduna (nenek moyang kami). Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia 7
tahun ridha di masukan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan dasar
tradisional yang disebut Kuttab yang ada di desanya.
Setelah menamatkan pelajarannya di Kuttab
Ridha tidak langsung melanjutkan pelajaranya ke lembaga yang lebih tinggi
tetapi hanya melanjutkannya pada orang tuanya dan ulama’ setempat. Beberapa
tahun kemudian setelah, Ridha meneruskan pelajarannya di madrasah ibtidaiyah
al-Rusdiyah di Tripoli. Di madrasah itu di ajarkan ilmu nahwu, shorof, tauhid,
fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Namun, bahasa pengantar yang dipakai di
madrasah tersebut bukanlah bahasa arab, melainkan bahasa Turki. Hal itu tidak
mengherankan, karena madrasah tersebut milik pemerintah Turki Usmani. Disamping
itu, tujuan madrasah milik pemerintah tersbut adalah untuk mempersiapkan sumber
daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Usmani.
Oleh karena itu, Ridha enggan manjadi
pemerintah, Ridha kemudian keluar dari madrsah al-Rusydyiah setelah lebih
kurang satu tahun belajar disana. Selanjutnya, 1299 atau 1300 H Ridha memasuki
madrasah Watoniah Islamiyah yang didirikan dan dipimpin oleh syekh Husain al-Jisr
(w. 1327 H/ 1909 M), seorang ulam’ besar Lebanon yang telah dipengaruhi oleh
ide pembaruaan yang digulirakan oleh as-sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan
syekh Muhammad Abduh.
Setelah madrasah Watoniah ditutup, Ridha
melanjutkan pelajaranya di madrasah diniyah (sekolah agama) yang lain.
Disamping itu, meski madrasah Watoniah ditutup, Ridha tetap belajar pada syekh
al-Jisr, baik di madrasah Rahibyyah maupun di rumah gurunya itu sendiri sampai
selesai damn memperoleh ijazah dari gurunya pada tahun 1315 H/ 1897 M.
Selama belajar di Tripoli, Ridha tidak
hanya berhasil menimba ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga mendapat kesempatan menulis di beberapa harian dan majalah yang terbit di
Tripoli dengan bimbingan dari gurunya, syekh al-Jisr. Pengalamannya di bidang
tulis-menulis itulah yang mengantarkannya menjadi seorang penulis yang
produktif dan pemimpin redaksi majalah al-Manar hingga akhir hayatnya.
V.
Pemikirian-Pemikiran
Kalam Rasyid Ridha
1.
Akal dan
Wahyu
Menurut
Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan
mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk
memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih
ragu-ragu.
2.
Sifat Tuhan
Dalam
menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat
yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazila. dan Asy’ariyah.
Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum
Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash,
tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.
3.
Perbuatan
Manusia
Pembahasan
teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah manusia
memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia
hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination). Perbuatan manusia
menurut Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan
Tuhan yang disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan.
4.
Konsep Iman
Rasyid Ridha
mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan
amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu,
upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk
mengembalikan keberagamaan umat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan
Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq)
bukan didasarkan atas pembenaran rasional.