.

Senin, 21 Oktober 2013


PANDANGAN KALAM
MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
 Pada Mata Kuliah “Ilmu Kalam”

Disusun oleh:
FITRI ARISTIANI, 210213011
FAIZ WIDIATI, 210213106
MOH. ILHAM NADZIRUL FIQRI, 210213267
RIZKIA LUTFI, 210213221

Jurusan Syari’ah Mu’amalah
Semester I



Dosen pengampu:
SAID ABADI, MA.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013


I.         Pendahuluan
          Muhammad Abduh adalah salah satu dari sekian tokoh pembaharu islam. Muh. Abduh hadir membawa pemikiran diberbagai bidang agama, sosial, dan politik. Ia juga seorang guru yang dihormati murid-muridnya. Banyak pemikiran yang ia cetuskan dan meninggalkan pengaruh tidak hanya di tanah kelahirannya mesir dan daerah timur tengah. Akan tetapi pengaruhnya menyebar keberbagai pelosok dunia islam. Pemikiran-pemikiran Muh. Abduh yang tidak terlalu memihak menimbulkan banyak perdebatan diantaranya masalah corak teologi yang dianutnya. Teologi yang bercorak rasionalkah atau teologi yang bercorak tradisional, teologi yang mengandung dinamikakah atau teologi yang mendorong kepada keadaan statis?. Diantara karya Muhammad Abduh adalah Risalah al-Tauhid.
          Sebagai seorang guru Muhammad Abduh memiliki banyak murid, diantaranya adalah Rasyid Ridha juga termasuk tokoh pemikir islam. Pemikiran-pemikirannya banyak di pengaruhi oleh Muhammad Abduh akan tetapi dalam beberapa hal Rasyid Ridha memiliki perbedaan dengan gurunya itu. Misalnya saja cara mereka mengenai sifat-sifat Tuhan. Salah satu karyanya yakni Tafsir al-Manar.
          Sebagai tokoh-tokoh yang memiliki nama besar di dunia islam, tentu banyak hal yang dapat diteladani dari Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha. Maka dari itu dalam makalah ini akan di uraikan sedikit tentang riwayat hidup dan juga pemikiran-pemikirannya.


II.      Riwayat Muhammad Abduh
          Muhammad Abduh dilahirkan di desa Mahallat Distrik provinsi al-Bahirah tahun 1849 M (1266 H), dari sauatu keluarga miskin yang menanggung berbagai kesulitan. Kesulitan masa kecil itu diceritakan Abduh:
          “Pernah ada seorang pemfitnah melaporkan keluargaku kepada penguasa dengan menuduhnya sebagai pemberontak. Akibatnya, satu persatu keluargaku diciduk dan dijebloskan ke penjara. Biasanya, siapa yang masuk penjara, keluar dipastikan menjadi mayat. Di rumah, tinggal kakekku Hasan yang sudah renta bersama Ibrahim - keponakannya...”
          Pada umur 7 tahun, Abduh menerima pengajaran peratama, di desanya berupa pelajaran membaca, menulis dan menghapal Qur’an. Setelah itu, Abduh pergi ke masjid al-Ahmadiy di Tanta untuk mengikuti pelajaran Tajwid pada umur 13 tahun.
          Dua tahun kemudian, tahun 1864 Abduh menerima awal pelajaran al-Azhar di masjid al-Ahmadiy setelah sempurna pelajaran tajwid sebelumnya. Karena metode pengajarannya tidak tepat, Abduh tidak bisa menerima pelajaran dan memutuskan meninggalkan pelajaran setelah setahun mengikutinya. Maka pada tahun 1865, Abduh pulang ke kampungnya lalu menikah dan berniat untuk bertani bersama keluarganya dan tidak ingin berurusan dengan pelajaran lagi. Namun sang bapak melarangnya dan bersikeras mengembalikannya ke masjid al-Ahmadiy pada tahun yang sama.
III.   Pemikirian-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
1.    Kedudukan akal dan fungsi wahyu
          Akal menurut Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahwa akal adalah satu keistemewaan yang di berikan Allah swt kepada manusia. Akal dalam teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi, bahkan menurut Harun Nasution Abduh menempatkan akal lebih tinggi dari Mu’tazilah. berkat akal orang dapat mengetahui adanya Tuhan beserta sifat dan kekuasaan. Islam memandang mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar islam dan iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
          Bagi Abduh, islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang di dasarkan atas akal. Bahkan akal adalah salah satu dasar dalam Islam.
Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
a.    Tuhan dan sifat-sifatnya
b.    Keberadaan hidup di akhirat
c.    Kebahagian jiwa di akhirat tergantung pada upaya mengenal Tuhan dan bebuat baik, sedangkan kesengsaraanya tergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
d.   Kewajiban manusia mengenal Tuhan
e.    Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
f.     Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban perbuatan itu.
          Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan  kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sfatnya dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
          Dalam pendapat Abduh, wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Keyakinan akan adanya hidup ke dua sesudah hidup pertama ini, bukanlah hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat manusia dalam keseluruhan, monoteis, penyembahan berhala, orang beragama dan filosof, kecuali sebagian kecil yang tak berarti, sepakat mengatakan bahwa jiwa akan tetap hidup setelah ia meninggalkan tubuh.
          Fungsi ke dua dari wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia meski hidup berkelompok, tidak selalu dalam satu pandangan. Akibatnya, terjadi selisih pendapat yang mengakibatkan perpecahan. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik maka nabi-nabi di kirim Tuhan ke permukaan bumi.
2.    Kebebasan Manusia
          Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya dia bukan manusia lagi. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang di lakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri. Selanjutnya mewujudkan perbuatannya tu dengan daya yang ada dalam dirinya. Karena manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan itu. Paham perbuatan yang di paksakan atas manusia atau yang lebih di kenal dengan paham Jabariyah, tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh.
         Menurut uraian di atas manusia memiliki kebebasan memilih dalam perbuatan, timbul pertanyaan sejauh manakah kebebasan manusia itu?
Sebenarnya kebebasan manusia tidaklah absolut. Manusia memiliki kebebasan yang terbatas pada apa yang ia usahakan, akan tetapi hasil akhir tetap di tentukan Allah SWT.
3.    Sifat-sifat Tuhan
          Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak, sifat dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri disamping esensi. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengetakan tidak. Masalah ini juga disinggung oleh Muhammad Abduh.
          Dalam risalah ia menyebutkan sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan ataukah esensi lain dari Tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya.
4.    Kehendak mutlak Tuhan
          Melihat manusia yang bebas berkehendak, Abduh berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak selamanya bersifat mutlak. Karena Tuhan telah membatasi kemutlakan-Nya dengan memberi kesempatan pada manusia untuk berijtihad. Namun pada penjelasan lain dikatakan dalam kebebasan itu, Tuhan tetap berperan di belakangnya.
5.    Keadilan Tuhan
          Bagi Abduh Tuhan menciptakan alam ini bukan semata-mata karena kemutlakan-Nya. Namun ada tujuan lain bagi manusia dan seluruh makhluk. jika ditinjau lebih dalam, peranan makhluk satu dengan makhluk lainya saling berinteraksi dalam menjalankan kehidupan di alam ini (selain beribadah pada Tuhan). Inilah salah satu wujud keadilan Tuhan. Setiap perbuatan manusiapun dipengaruhi oleh sifat-sifat keadilan Tuhan. Semua perbuatan manusia akan di balas sesuai kebaikan dan keburukannya.
6.    Antropomorfisme
          Dalam hal ini Abduh berpendapat Tuhan tidak dapat diwujudkan dalam bentuk apapun sebagaimana yang terekam dalam pikiran manusia. Jika dalam al-Qur’an terdapat kata-kata “ tangan, wajah Tuhan “ dan lain-lain. Itu hanya sebagai permisalan untuk mempermudah memahami Al-Qur’an, bahkan jika manusia memikirkan Tuhan itu maha besar, bisa jadi Tuhan lebih maha besar dari apa yang dipikirkan manusia. Dalam penafsiran seperti diatas, Abduh menyarankan untuk menyandarkan pada orang Arab (ahli tafsir).
7.    Wujud Tuhan
          Bagi Abduh Tuhan tidak akan menampakkan wujud-Nya kepada makhluk. Jika Tuhan menampakkan wujudnya di akhirat, itu hanya di anugerahkan pada hamba tertentu dan belum tentu hamba itu bisa melihat wujud Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat al-An’am ayat 103.
8.    Perbuatan Tuhan
          Semua perbuatan Tuhan tidak wajib dilakukan oleh zat-Nya. Mencipta, memberi rizqi, mengadzab dan lain-lain adalah ketetapan bagi-Nya, tidak dapat dibayangkan tujuan dan maksud perbuatan-Nya. Namun dalam pendapat Abduh yang lain ia cenderung sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa Tuhan wajib berlaku baik pada manusia dan makhluk-Nya.
IV.   Riwayat Rasyid Ridha
          Ridha atau lengkapnya sayyid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada hari rabu tangal 27 Jumadil al-Ula 1282 H atau 18 okteber 1865 M di Qolamun, sebuah desa yang terletak di tepi pantai laut tengah, sekitar 3 mil jauhnya sebelah selatan Tripoli, Lebanon.
          Ayah dan ibu Ridha berasal dari keturunan al-Husain, putra dari Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah putri Rosullullah saw itu sebabnya, Ridha menyandang gelar al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh ahli al-Bait seperti Ali bin Abi Tholib, al-Husain dan Jafar as-Shadiq dengan jaduna (nenek moyang kami). Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia 7 tahun ridha di masukan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional yang disebut Kuttab yang ada di desanya.
          Setelah menamatkan pelajarannya di Kuttab Ridha tidak langsung melanjutkan pelajaranya ke lembaga yang lebih tinggi tetapi hanya melanjutkannya pada orang tuanya dan ulama’ setempat. Beberapa tahun kemudian setelah, Ridha meneruskan pelajarannya di madrasah ibtidaiyah al-Rusdiyah di Tripoli. Di madrasah itu di ajarkan ilmu nahwu, shorof, tauhid, fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Namun, bahasa pengantar yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa arab, melainkan bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan, karena madrasah tersebut milik pemerintah Turki Usmani. Disamping itu, tujuan madrasah milik pemerintah tersbut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Usmani.
          Oleh karena itu, Ridha enggan manjadi pemerintah, Ridha kemudian keluar dari madrsah al-Rusydyiah setelah lebih kurang satu tahun belajar disana. Selanjutnya, 1299 atau 1300 H Ridha memasuki madrasah Watoniah Islamiyah yang didirikan dan dipimpin oleh syekh Husain al-Jisr (w. 1327 H/ 1909 M), seorang ulam’ besar Lebanon yang telah dipengaruhi oleh ide pembaruaan yang digulirakan oleh as-sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan syekh Muhammad Abduh.
          Setelah madrasah Watoniah ditutup, Ridha melanjutkan pelajaranya di madrasah diniyah (sekolah agama) yang lain. Disamping itu, meski madrasah Watoniah ditutup, Ridha tetap belajar pada syekh al-Jisr, baik di madrasah Rahibyyah maupun di rumah gurunya itu sendiri sampai selesai damn memperoleh ijazah dari gurunya pada tahun 1315 H/ 1897 M.
     Selama belajar di Tripoli, Ridha tidak hanya berhasil menimba ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga mendapat kesempatan menulis di beberapa harian dan majalah yang terbit di Tripoli dengan bimbingan dari gurunya, syekh al-Jisr. Pengalamannya di bidang tulis-menulis itulah yang mengantarkannya menjadi seorang penulis yang produktif dan pemimpin redaksi majalah al-Manar hingga akhir hayatnya.


V.      Pemikirian-Pemikiran Kalam Rasyid Ridha
1.    Akal dan Wahyu
          Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.
2.    Sifat Tuhan
          Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazila. dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.
3.    Perbuatan Manusia
          Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination). Perbuatan manusia menurut Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan. 
4.    Konsep Iman
          Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan umat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.

                



3 komentar: